★The Rain of Grief ★

WELCOME TO YUE'S WORLD

Friday, October 8, 2010

[Fanfic] Blastocyst 2


Title : Blastocyst

Author : ♥ Yuera-Ayame & Akiru-Akiru ♥

Chapter : 2

Fandom : Deluhi, Manterou Opera

Pairing : JurixLeda | SujkxLeda | JurixSono

Genre : Angst | Romance | Fluff

Rating :PG

Disclaimer : Akiru is the 2nd writer. Mind it? Ganba ganba for me! XDD

Backsound: Trax - On the road | C4 - Intense rain | Nega - Reminiscence

Note : Yosh! Ini FF re-written nya Raz, dy ngajakin collab n FF ini emang FF yang saia suka n bikin penasaran mampus sama akirnya, eh dy malah minta dilanjutin = = so what lah.. akirnya saia bisa bereksperimen sama FF orang setelah FF megu gagal total.. *gomen ne Megu m(_ _)m* Sorry kalau rada2 ga nyambung n gak berkenan di hati, bikin di sela2 google tugas kebisingan ‘KepMenLH no 48 tahun 1996 saya ini engineer! Bukan pakar hukum! *plak =w= tugas satuan Operasi bkin otak senut2 = = disambi sambil nonton PS I Love You. It a must for watching!! Keren!

♥ Enjoy Ur Time♥

+++++++++++++++++++++++++++++

“Kau belum masuk?” Suara lemah Sujk segera membuatku menyembunyikan ponsel flip merah ke dalam saku jaketku. Aku tidak mau dia tahu tadi aku baru bertemu dengan Juri, terlebih lagi aku tidak berniat dia melihatku menangis setelah membaca email Juri. Aku bertaruh jika Sujk tahu, petuah-petuah macam apa yang akan dia lontarkan untuk menenamiku tidur nanti.

Sujk mendekatiku, aku tahu itu, ada aura panas yang mendekatiku. Sujk masih demam dan aku masih belum berani memperlihatkan wajahku ke hadapannya, wajahku yang sembab akan menjadi tanda Tanya baginya.

“Kau tidak kedinginan?” Tangan Sujk menelusup pelan di balik jaketku yang lembab, sedangkan dagunya di letakkan manja di atas pundakku. Bingung. Itu pasti! Aku sedang berada di pelukan Sujk sedangkan pikiranku dan mungkin saja hatiku masih tertinggal di sebelah nafas Juri. Menyebalkan. Aku sangat membenci diriku yang payah ini. Benar-benar payah. Kembali tetesan air lain jatuh di kedua belah pipiku menemani tetesan hujan yang sudah terlebih dahulu menghiasi pipiku. Huh, kenapa aku?

Setidaknya hari ini hujan berguna untukku yang payah ini.

“Obatmu”

+++++++++++++++++++++++++++++

Dia ingin bertemu denganku. Ya, Juri merindukanku, rasa rindu yang mungkin saja sama besar dengan yang kurasakan saat ini. Itu yang terpenting. Persetan dengan senyum ceria Sono! Persetan dengan cumbuan-cumbuan itu! Tidak berguna! Ya! Juri akan selalu memilikiku. Itu yang penting.

Sujk menggeliat di sampingku. Melepaskan pelukan posesifnya yang sudah lebih dari dua jam. Sedikit membuat tulang-tulangku kaku.

Sujk?

Bodoh! Kenapa aku? Sujk yang sekarang memilikiku, dia yang ada di sampingku saat ini. Bodoh! Kenapa aku sampai lupa? Sujk membutuhkan, sangat membutuhkanku. Apa yang kupikirkan?

Bangun dan menyandarkan tubuhku. Mengumpulkan lututku yang gemetaran dalam satu pelukan tangan. Sial! Pertemuan yang benar-benar tidak kuinginkan! Meremas rambutku acak-acakan. Ada rasa nyeri yang mendera otak kiriku. Sentuhan Juri tadi sepertinya cukup membuatku migraine untuk kembali memikirkannya.

Tek.

Lampu meja di sebelah Sujk menyala dengan sendirinya. Oh, bukan, Sujk yang menghidupkannya. Dia menyeringitkan kedua matanya ketika melihatku. Dia baru saja tertidur dan aku baru saja membangunkannya. Sial! Buru-buru aku menoleh ke samping menjauhi pandangan matanya. Dia tidak boleh melihat mata sembabku. Tidak boleh!

“Kau belum tidur?” Sujk menyentuh pundakku pelan.

“Sebentar lagi”

“Tidurlah” Sujk menarik tubuhku dalam pelukannya, menaikkan tubuhku dalam pangkuannya. Aku heran darimana tenanganya yang selalu berlebih itu? Dia sakit dan aku tahu demam bisa membuat badan pegal-pegal, tapi kenapa aku selalu tidak bisa menahannya. Kekuatan cinta? Kata-kata Sujk dulu segera kutepis jauh-jauh. Aku tidak mau terlarut dalam kubangan rasa bersalah lebih jauh dari ini.

“Kau masih demam?” Pertanyaan bodoh, Sujk saja tertawa mendengarnya. Kembali dia merapatkan pelukannya, begitu posesif, beda dengan pelukan Juri. Huh, aku kembali membandingkan mereka berdua.

Malam di luar sana masih menyisakan rintik-rintik hujan. Jam dua pagi. Besok aku harus ke kampus dan bekerja sambilan lagi setelah dua minggu cuti. Tugas Satuan operasi dari dosen belum ku sentuh dari dua hari yang lalu. Aku tahu nilai E sudah berada di depan mataku. Mungkin aku sudah tidak peduli dengan perawan tua yang menjadi dosenku itu. Sangat tidak peduli jika dia akan mencoret namaku dari daftar absen. Aku masih bisa mengulangnya tahun depan. Bersama dengan Mekanika Fluida 2. Sakit Sujk yang makin parah beberapa minggu ini lebih menyita perhatianku. Dia lebih membutuhkanku di banding anak-anak SMA yang selalu menungguku di depan CD store tempatku bekerja atau bahkan perawan tua itu.

Sujk mencium pundakku. Bahkan bibirnya saja terasa hangat. Hanya ujung kakinya saja yang terasa sangat dingin.

“Kau kedinginan”Aku membalikkan tubuhku untuk melihatnya Sujk lebih jelas. Menyentuh kedua pipinya yang masih panas, Sujk tersenyum menanggapinya, ada cerminan wajahku di kedua bola matanya, dia melihatku nanar sebelum kembali menhujani kedua belah tanganku dengan ciumannya, jelas terlihat dia sangat membutuhkanku. Tanpa sadar membuatku menggigit bibir bawahku dan enggan untuk melihat wajahnya. Aku lebih memilih menundukkan kepalaku.

“Kau kenapa?” Sujk meraih pipiku memaksaku untuk melihat pantulan wajahku di matanya. “Kau terlihat aneh hari ini” Tambah Sujk

Aneh? Ya! Aku aneh! Aku aneh Sujk! Aku tidak menyukaimu! Tidak! Sama sekali tidak! Kau temanku! Aku hanya menyukaimu dengan status itu, teman! Tidak lebih! Seharusnya kau tahu aku lebih menyukai Juri, kau tahu itu kan Sujk? Kau tahu?

Suaraku tercekat di tenggorokanku. Memberanikan diri memandang Sujk lebih dalam lagi.

“Peluk aku”

+++++++++++++++++++++++++++++ 

“Bisakah kita bertemu?”

Suara Juri di ujung sana membuat mug kesayangan Sujk jatuh dari tanganku. Aku membiarkannya saja, Sujk masih tidur dan aku yakin dia terlalu malas untuk beranjak dari ranjang setelah yang terjadi tadi malam.

“Bertemu?” Aku mungkin terlalu kaget sehingga kata yang didengar Juri terlalu datar tanpa ekspresi. Hampa. Bertentangan dengan hatiku yang melonjak gembira.

Terdengar helaan nafas di sana yang membuatku merutuki dirimu sendiri.

“tempat biasa, lima belas menit lagi, bisa kan?”

Sujk?

“Hanya kita”

Juri menyudahinya dan suaranya telah berganti nada lain. Aku masih memegang ponselku di telinga berharap aku sedang tidak bermimpi. Sudah dua minggu sejak pertemuan tidak sengaja itu, aku sudah berhasil melupakannya sedikit. Dari 95 % menjadi 90 %, setidaknya ku sudah cukup berusaha.

Juri bodoh!Kembali aku menangis seperti anak kecil. Tertahan. Tidak ingin Sujk tahu. Memegang pinggiran meja pantri untuk menumpu tubuhku yang seperti kehilangan tenaga. Aku bodoh! Sungguh bodoh! Seharusnya aku tahu nomor yang tidak dikenal itu nomor Juri dan aku tidak perlu mengangkatnya. Kenapa aku harus berharap kalau itu benar-benar dari Juri. Lihat sekarang? Usahaku dua minggu ini terlihat sia-sia. Sangat sia-sia.

“Leda? Kau kenapa?” Suara Sujk segera membuatku berdiri lagi. Buru-buru membalikkan tubuh dan menghapus air mataku dengan piyama pink yang ku kenakan saat ini.

“Tidak apa-apa” dustaku.

Sujk yang berdiri di hadapanku dengan piyama biru -yang sama denganku- berbalut bathrobe menyabotase pandanganku. Dia mengenggam erat kedua pundakku. Mau tidak mau aku kembali beradu mata dengannya. Dia makin pucat dan makin kurus.

“Mug mu jatuh”

Sujk melihat ke bawah. Pecahan mug kesanyangan Sujk berserakan.

“Kau menangis karena ini?” Sujk tertawa, melepaskan genggamannya dan membereskan pecahan-pecahan mug. Aku hanya diam, sepertinya aku bisa berbohong kali ini.

“Aku akan beli lem!” Bergegas berlari meninggalkan Sujk yang dengan pongonya melihatku mengambil mantel biru di senderan kursi.

“Hey!”

+++++++++++++++++++++++++++++

“Bagaimana kabarmu?” Juri lah yang pertama membuka mulut, menelan kesunyian yang sudah berlansung sejak setengah jam yang lalu. Suaranya masih sangat lembut walaupun masih terselip kegugupan disana. Mungkin sama sepertiku, dia belum siap untuk bertemu denganku. Dia masih canggung.

“Baik” Jawabku formal. Mungkin Juri akan terkejut mendengarnya. Aku saja heran kenapa aku bisa begitu formal kepadanya? Jelas-jelas aku ingin memeluk tubuhnya dan merasakan wangi sabun favoritnya, mencumbunya manja seperti dulu, atau bahkan spend the night, private kembali menjelajah tubuh kurusnya. Ya, kenangan manis seperti dulu.

Aku kembali melihat dandanan lengkap Juri, masih seperti dulu. Simple tapi tetap elegan. Huh, berbeda denganku yang lusuh tanpa dandanan dan yang lebih parah aku masih mengenakan piyama pink di balik mantel biru ini. Berlari tanpa henti dari apatermen Sujk sampai ke bukit belakang sekolah ini cukup membuatku keringatan. Dan bau? Ya, Tuhan! Aku baru menyadarinya. Sedikit beringsut menjauhi Juri. Semoga dia tidak menyadarinya.

“Sujk?”

“Eh? Sama seperti dulu”

“Sou ka?”

Kembali diam. Hanya bisa senyum grogi. Menyebalkan. Juri selalu berhasil membuatku salah tingkah. Memalingkan wajahku ke samping menghindari tatapan intense dari kedua mata Juri. Darn! Apa yang harus aku lakukan?

“Sepertinya aku gagal” Gumam Juri pelan. Namun aku masih bisa mendengarnya.

“Maaf?”

“Aku masih menyukaimu.”

Deg

Suka?

“Maaf, aku harus pulang!” Sungguh aku tidak ingin mendengar kelanjutan percakapan ini. Walaupun bertolak belakang dari nurani yang jelas-jelas tidak bisa dibohongi. Katakan saja aku pengecut! Sujk menungguku di rumah. Dia masih membutuhkanku. Ketika aku baru bangkit dari dudukku, Juri refleks meraih tanganku dan mencengkramnya kuat.

“Sakit~”

“Maaf” Impuls, juri melepaskan tangannya namun tetap memaksaku duduk kembali.

“Apa yang kau inginkan? Bukankah ini yang kau ingin, kan? Kita berpisah dan aku harus menjaga Sujk? Ini kan yang kau inginkan? Mungkin saja ini hanya kedok! Kau ingin bersama Sono? Iya, kan? Dia lebih pantas untukmu dibandingkan aku dan sekarang kau datang dan mengatakan masih suka? Kenapa dulu kau rela melepaskanku? Kenapa baru sekarang kau mengatakannya? Kau bodoh, Juri! Bodoh!” Aku kalap.

Juri diam dan aku kembali diam, menata nafasku yang masih berserak karena kelelahan. Lelah tenaga dan juga otak. Masalah Sujk sudah cukup membuatku lelah untuk memakai topeng setiap harinya, dan kini kehadiran Juri membuatku sakit otak untuk mencerna takdir apa yang ada di ujung cerita ini. Walaupun dulu aku yang meminta putus seharusnya dia tahu aku sangat-sangat keberatan untuk itu. Kenapa dia harus langsung setuju? Kenapa dia rela melepasku? Toh, Sujk akan mati, sial! Apa yang barusan kukatakan!?

“Kau tidak pernah menyukaiku” Sambungku.

Shit!

“Kau yang bodoh! Aku menyukaimu! Sangat menyukaimu! Kau mungkin tidak tahu seberapa inginnya aku melihat Sujk mati dan kau kembali padaku! Betapa aku tersiksanya tanpa melihatmu disampingku dan kau tahu betapa menjijikkan pikiran-pikiran kotor ketika aku menyadari kau pasti bercumbu untuk menuntaskan keinginan Sujk! Setan! Setahun ini aku hidup tanpa hati, tanpa otak semua sudah hilang karena kau! Dan kau..”

“Sujk membutuhkanku!” Potongku lugas yang segera menghentikan kata-kata Juri yang membuatku sakit.

Juri diam lagi. Dia memalingkan wajahnya ke samping. Menghindari tatapan mataku yang tajam. Dari dlu dia tahu aku benci terlibat pertengkaran tidak penting seperti ini.

“Kau benar Sujk masih membutuhkanmu dan Sono pun juga begitu, dia masih membutuhkanku atau bahkan mungkin aku sedikit membutuhkan kehadirannya, karenamu. Ya, karena mu, aku membutuhkannya.”

“Bodoh!”

“Bukan suatu kesalahan, kan kalau aku masih menyukaimu?” Juri meraih pipiku, memaksaku untuk melihatnya kembali, mata yang begitu kukagumi, hidung yang begitu kupuja, rambut yang ingin ku usap, aku memang ingin memilikinya. Tanpa sadar aku kembali menangis. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon, balon bewarna hijau kesukaanku.

“Leda” Juri menyeka tangisanku dengan jempolnya tanpa melepas rengkuhan tangannya di pipiku. Jelas sekali dia tidak ingin melihatku menangis. Dia begitu takut, cemas.

“Tidak apa-apa, ini bukan seberapa, aku sudah menghabiskan bergalon-galon air mata untukmu sebelum ini” Aku mencoba bercanda namun tidak berhasil. Juri masih memandangku khawatir, dan memang itu bukan candaan yang cocok untuk saat ini. Aku kembali terisak.

Juri memelukku, menghujani ubun-ubun kepalaku dengan ciumannya. Ciuman yang begitu kurindukan.

“Apakah memang harus seperti ini, Juri?” tanyaku.

“Mungkin ada cerita lain untuk kita nantinya”

“Benarkah?”

“Setidaknya aku yakin di sudut hatimu masih ada namaku, aku benar, kan?”

“Pasti”

+++++++++++++++++++++++++++++

“Suster, bisa minta vas bunga?”

“Oh, tentu” perempuan muda itupun tersenyum menyanggupi permintaan Sujk yang terbaring lemah di atas ranjang. Sudah sepekan dia berada di rumah sakit dan aku terpaksa kembali membolos kuliah dan kerja sambilan.

“Kau sudah makan?” Tanya Sujk lemah padaku yang duduk di sofa, tidak jauh dari ranjangnya. Aku masih berkutat dengan tugas perpipaan, hanya tugas ini yang bisa kukerjakan disini. Aku sudah mengulang mata kuliah ini dua kali dan kali ini aku harus berhasil. Bukan karena aku bodoh hanya saja dua kali ujian aku selalu terlambat atau lupa hari karena pikiran yang tersabotase karena Sujk.

“Sebentar lagi”

Sujk tersenyum mendengarnya, menggulingkan tubuhnya menghadap ke arahku. Impuls aku mencegahnya, dia tidak boleh bergerak banyak, terlalu banyak selang infuse di tubuhnya.

“Jangan bertindak bodoh, Sujk, aku disini kok” Mengecup pipi Sujk pelan. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan.

“Kau harus kembali pada Juri, Leda”

Eh?

“Apa maksudmu?”

“Sebentar lagi aku akan mati, aku tahu, kok. Tugasmu sudah selesai” seperti di tampar sekalian disilet mendengar perkataan Sujk. Tugas? Tidak sebersitpun aku berpikir seperti itu -setidaknya sejak perjanjian kedua telah tercetus antara aku dan Juri. Aku tulus berada di sisinya. Ya, ada cerita lain yang akan menunggu kami masing-masing.

“Jangan bercanda Sujk, kau tidak boleh mati! Belum waktunya kau mati”

Sujk tersenyum.

“Aku seperti pemeran antagonis. Kau tahu itu? Mungkin kalau kau menceritakan ini kepada anak cucumu, mereka akan merutukiku, hehehe”

“Kau selalu menjadi protagonis”

“Kau selalu menghiburku, Leda, saatnya aku membebaskanmu.”

Aku terdiam. Mungkin dulu aku menginginkan ini. Mungkin dulu aku yang menjadi pihak antagonis dengan sedikit berharap kematian Sujk dan berpaling kepada Juri. Tidak, aku tidak boleh seperti itu. Sujk membutuhkanku, masih membutuhkanku, dan mungkin sedikit demi sedikit aku sudah merasa membutuhkan Sujk disampingku. Sujk yang berbeda didepan semua orang. Sosok Sujk lain yang tanpa cap sudah seperti menjadi milikku.

“Aku akan tetap disini”

+++++++++++++++++++++++++++++

“Hey, Leda! Lihat awan itu seperti gitar, ya?”

“Mana? Mana?” Mengedarkan pandangan ke atas langit namun nihil. Aku tidak berhasil menemukan awan gitar seperti yang dia bilang.

“Kau membohongiku lagi, ya?” Menoleh ke samping, tepat ke arah pria berambut hitam yang duduk disampingku. Dia tertawa seperti anak kecil.

“Lihat lagi!” Dia memaksaku untuk melihat ke atas lagi. Namun tiba-tiba kalung dengan liontin gitar jatuh mengenai hidungku. Kembali tergantung dengan jarak kira-kira dua senti dari hidungku.

“Kau bisa melihatnya sekarang?”

“Yo?”

“Gaji pertamaku sebagai dokter! Hehehe” Yo kemudian beranjak dari duduknya dan memakaikan kalung dengan liontin gitar itu di leherku. Sungguh indah.

Yo, calon dokter yang kutemui ketika Sujk di rumah sakit dulu. Juri benar mungkin memang ada cerita lain untuk kami masing-masing. Aku yakin Sujk tidak akan cemburu di surga sana. Aku kembali membuka hatiku untuk pria lain.

Pria lain? Ya, sepertinya aku memang terlahir sebagai homo. Kenapa aku tidak menyukai suster cantik di RS itu, ya? Hehehe. Yo sangat baik. Dia tidak memaksaku untuk melupakan Juri, Pelan-pelan tapi pasti dia memasuki kehidupanku. Memang itu yang kuperlukan.

“Tante.. Tante” Seorang anak menarik bajuku yang membuatku menoleh ke arahnya. Seorang anak kecil memanggilku tante? Aku belum terlalu tua untuk dipanggil tante? Menyebalkan! Apalagi Yo di sebelahku sudah mati-matian menahan tawanya. Argh.. Tante? Hey? Apa aku begitu cantik sampai salah kira gender seperti ini.

“Ya?”

“Huo!! Tante-tante bersuara cowok!” Laki-laki kecil itu bergerak menjauhiku yang kembali membuatku merengut. Yo sudah tetawa dari tadi. Aku berdoa semoga anak ini ketika dewasa akan sama sepertiku! Dipanggil tante-tante, Argh!

“Ayame!” Suara yang kemudian ku dengar seperti memecah seluruh batas nyata yang ada dipikiranku.

Aku sangat kenal suara ini.

“Papa!” Anak laki-laki itu berlari mengejar pria yang menunggunya di belakang. Pria yang sama-sama terkejut sepertiku. Begitu tidak percaya. Seperti ada aura lain yang memasuki alam bawah sadarku. Perasaan yang sama dengan yang diberikan oleh orang yang begitu ku kenal dulu. Hanya dia yang bisa memberikan sensasi aneh itu.Sangat nyata dan begitu ku rindukan sosok yang masih sama dengan 8 tahun yang lalu. Maih tampan dengan gaya simple namun elegannya.

“Juri?”

“Apa kabar?” Gugup Juri menjawabnya.

Ya, Juri benar, ternyata memang ada kisah lain yang menjadi akhir cerita kami. Akhir yang mungkin saja indah atau mungkin saja terlalu memaksakan. Aku tidak peduli.

Apakah ada yang keberatan?

“Sepertinya aku harus cepat-cepat membawamu ke Belanda!” Bisik Yo.

OWARI

+++++++++++++++++++++++++++++

A/N 1 : Yosh! Selesai sudah, ngecewain ya? :( gomen lagi gak bisa mikir banyak = = *alesan* sangat-sangat tidak sesuai dengan perkiraan =w= harusnya begini jadi begitu. Gomen anakku!! Mama bikin rusak penpikmu! *menyeseal setuju ikut collab FF* plak hiks. Maaf kalau banyak tugas-tugas kampus yang saya selipkan di cerita. T^T nasip anak teknik =w=

Anyway comments are love ♥

By Akiru

No comments:

Post a Comment

Please, take your some comments ^^v